Hujan: Kala telepati rasa dalam doa

Kekuatan besar yang tak pernah terduga salah satunya adalah doa. Setidaknya, itu yang aku pegang ketika pergi dari rumah, ketika masa remaja, duduk di kursi tua panjang, kursi polos dengan warna kayu pudarnya. Namanya pak pul, aku menyebutnya simbah. Ia adalah suami teman ibuku bahkan sejak aku belum lahir, ya, setidaknya aku juga merasakan hawa joglo tua itu dengan cepatnya menyatu bersama ragaku.

Sebuah cengkrama penuh makna yang kemudian menguatkan ku enjadi sebuah nilai, wlaaupun seringnya aku terguncang dengan godaan lainya, setidaknya aku bisa mencoba kembali. Ya, kekuatan doa. Setidaknya aku ucap ini dalam hati, ketika hujan turun lagi. Aku menyebut namamu dalam doaku.

Wanita yang aku kenal pertengahan 2 tahun lalu, Juni 2017. Benar memang aku bukan yang pertama kali melihatmu ketika rombongan kawanku sudah lebih dulu mengenalimu. Tapi aku menaruh harapan besar ketika kita pertama bercengkrama. Aku ingat ketika kita bertemu di depan lobby, dan kita dengan bangga meggerombol dengan kawanan kita lengkap dengan jas masing-masing.

Aku menyapamu lebih dulu, ya karena aku tertarik padamu. Setidaknya ini buka pandangan pertama, tapi ini kesan pertama yang aku ingat. Sebenarnya aku pelupa kolot, tapi entah kenapa, baru kali ini aku mengabadikan pertama kali cerita ini, setelah dua tahun berlalu. Oh iya, karena hari ini, hujan turun lagi, deras, bahkan sangat deras.

Dalam derasnya hujan, aku mengucapkan namamu, setidaknya bukan sekali, tapi tiga kali. Angka ganjil yang sering aku pakai untuk berbagi resah dengan pencipta, yang menurunkan rasa, dan ada cinta didalamnya untuk jiwa dan raga. Dan aku suka, angka tiga.

Sebenarnya ini bukan pertama kali aku mengucapmu dalam doaku, lebih dari sekali, ya pasti. Dan hari ini, kau hadir kembali, persis seperti doaku, hari ini, dalam hari yang sama, empat jam setelah hujan turun, dan aku mengucap namamu. Kau yang menyapaku lebih dulu. Setidaknya, kita masih menjalin rasa, hingga jika masanya tiba, dan kita lebih dekat dari masa ini sendiri. Setidaknya, hingga aku pulang ke Surabaya.


Komentar

Postingan Populer