Kontemplasi Manusia Lamban

Tulisan ini setidaknya membantuku meredam rasa malas, atau sebenarnya kangen untuk menulis kembali setelah lama vakum. Sebuah kegiatan yang sangat aku suka dan tiba-tiba berhenti karena sesuatu hal. Dan kini aku kembali mengisi sebuah buku digitalku sebagai memori untuku.

Sejak sebelum lahir, sebuah ruh telah ditiupkan kesetiap individu, disitulah kita berjanji pada tuhan untuk melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian kita lahir didunia, tumbuh menjadi anak-anak, berproses menjadi remaja, dan kini mulai beranjak dewasa. 

Catatan ini aku mulai dari masa sekolah.

Menjadi pribadi yang periang dan mengutamakan kejujuran telah ditanamkan orang tuaku kira-kira ketika aku diajari untuk sholat jumat, dan dimasukan di TPQ. Masa ketika aku mulai belajar agama, belajar menjadi anak yang beranjak untuk tahu. Ketika makin beranjak besar, jiwa kompetisi sudah aku bangun ketika sekolah TK, saat itu aku berlomba dengan kawanku, Agus dan Farida. Apa yang aku kerjakan, hasilnya hampir selalu dibawah mereka. Dimasa itu, layaknya anak, usahaku memuncak ketika masuk ke sekolah dasar, sebuah hari-hari yang selalu diisi dengan membaca, menjawab pertanyaan, begitu terus dan berulang-ulang hingga dinyatakan lulus. Hal yang sama hampir selalu berulang ketika masa SMP, dan SMA, seperti sebuah siklus yang sudah mengantarkanku pada alur skenario yang mirip, atau bahkan bisa aku bilang sama. 

Terlepas dari belajar, keadaan ekonomi rumah sangat pas-pasan. Bahkan harus putar otak ketika harus ada biaya lebih. Dimasa ini pula, sebuah mimpi mulai terkubur karena kondisi ekonomi kubenamkan satu persatu jauh dari anganku. Setidaknya, hingga aku sadar ada yang harus aku perjuangkan untuk mimpi besarku, hingga dalam "masa jeda" aku mulai berontak dengan "kenyamanan" yang telah kubuat demi sebuah ketidaknyamanan sementara untuk sesuatu yang baru. 

Dimasa jeda inilah, aku banyak berkontemplasi, merenung atas apa yang terjadi, yang aku alami, dan apa yang akan kuperbuat. Masa remaja dimana mulai banyak  kekuatan dalam diri untuk berbenah. Diawali dari rasa marah pada diri sendiri, sebuah rasa bersalah dan emosi bercampur yang lambat laun mulai aku pahami.

Fase dimana aku memahami diri sendiri, saat benar-benar sendiri. Sebuah masa lalu yang mengajariku ketika aku memiliki masa jeda. Saat itu, akupun hampir tidak suka dimasa itu. Sungguh. Tetapi, dari masa jeda itu, aku belajar banyak hal. Soal waktu dan proses. 

Waktu yang membawaku makin menyadari jika aku punya ritme sendiri, ritme yang aku buat, sesuai dengan kemampuanku. Hal yang sangat penting aku rasa ketika aku mulai menemukanya, sebuah hal yang secara emosional membawaku menjadi orang yang makin optimis dan realistis dengan sebuah mimpi. Secara paralel, waktu menyambut proses untuk jatuh dan bangun. Proses yang pasti akan terjadi dan kita tidak boleh menyerah dengan kondisi rintangan apapun. Hal ini melahirkan sebuah nilai pada diri sendiri untuk selalu berusaha terlebih dahulu, setidaknya aku tak pernah menyesal mencoba walaupun hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasiku. Tetapi, pengalaman untuk mencoba, yang timbul dari keberanian diri, aku sangat apresiasi. 

Apresiasiku untuk diri sendiri, merayakan sebuah ketercapaian dengan syukur. Ya, setidaknya itu yang bikin aku merasa menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang aku rasa, tidak perlu pandangan orang lain untuk memuji, karena rasa apresiasi bagi diri sendiri adalah hal yang sangat cukup. 

Kemudian aku bilang pada setiap bagian tubuh ini sebelum tidur, "terimakasih atas effort dan struggle hari ini". Sebuah stress release yang sangat mempan untuk menyemangati diri sendiri esok hari, sebuah rasa syukur atas nikmat yang luarbiasa. Aku dapatkan semua ini atas proses panjang yang terus ku pelajari, aku tanamkan dalam hati, untuk terus menjadi pemula. Seorang yang mau menerima ilmu, hingga membuatku makin bijak dalam banyak hal. Setidaknya, menghargai atas diri sendiri, menghargai atas nafas, jantung yang berdetak, mata yang masih melihat, atau telinga yang masih bisa mendengar halauan angin. Nikmatnya hidup adalah ketika aku banyak bersyukur, setelah usaha dan pasrah pada pemilik semesta. 

Ya, semesta, dan dari secuil semesta ini, setidaknya gunung dan hutan adalah rumah untukku curahkan keluh kesahku, kemudian turun membawa semangat baru. 

Tak apa menjadi manusia lamban, sebab tak ada definisi cepat atau lambat yang absolut. Jika aku terus bergerak, ada mimpi yang menggerakan, ada aksi untuk mewujudkan, ada progres atas perubahan, itu artinya kau berjalan, dan bukan manusia lamban. Kalaupun aku singgah, setidaknya aku tidak benar-benar berhenti, tapi aku lanjut untuk berlari kembali.

Komentar

Postingan Populer